Saturday, May 4, 2013

ISLAM DAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

0 comments


            Tema ini bisa mengandung berbagai perspektif; normative, filosofis, histories, sosiologis dan sebagainya. Dalam pembahasan ini akan mengambil sudut pandang normative, sebuah perspektif yang mengemukakan ujaran dan ajaran yang termaktub dalam sumber  utama Islam.
            Secara tekstual sangat gampang dapat ditemukan berbagai firman Allah dalam al-Qur’an dan sabda Nabi saw yang tegas-tegas mendorong supaya kaum muslimin membaca dan memikirkan fonomena alam semesta ini. Baik yang bersifat kongkrit maupun yang abstrak. Ketika Nabi Muhammad memperoleh wahyu pertama, ayat yang diterimanya adalah perintah membaca (al-Alaq 1-5). Dalam ayat ini tidak dijelaskan apa yang menjadi obyek pembacaan. Ini berarti bahwa semua fenomena alam , seluruhnya bisa dijadikan sebagai obyek pembacaan. Surat al- Alaq hanya memberikan garis, bahwa pembacaan itu harus dilandasi dengan “menyebut asma Allah”. Oleh para ahli disimpulkan bahwa membaca apapun yang dilakukan umat Islam harus dalam kerangka tugas pengabdian dan ibadah kepada Allah.
            Berdasar penjelasan ini maka umat Islam memiliki hak untuk mengembangkan berbagai pengetahuan dan tehnologi yang bermanfaat, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Abdus Salam, seorang muslim pemegang hadiah Nobel 1979 dalam ilmu fisika menyatakan: “Tafakkur adalah berefleksi, berfikir tentang dan menemukan hukum-hukum alam(sain). Sedang tasykir adalah memperoleh pengetahuan atas alam (tehnologi). Keduanya, sepanjang zaman, merupakan dorongan-dorongan seluruh umat manusia. Adalah keagungan Islam bahwa al-Qur’an dengan perintah yang berulang kali, mengandung suruhan untuk bertafakkur dan bertasykir(mengejar sain dan tehnologi), sebagai kewajiban atas masyarakat muslim”.

Sumber-sumber Ilmu Pengetahuan

            Al-Qur’an menunjukkan empat sumber  untuk memperoleh pengetahuan:
1. Al-qur’an dan Sunnah Nabi. Keduanya merupakan sumber pertama ilmu. Al-qur’an berulang kali meningatkan  supaya kita memikirkan ayat-ayatNya dan mengambil pelajaran, serta mengingatkan kita untuk mengambil Rasul sebagai contoh dan teladan.

Alif, laam, raa. Ini adalah ayat-ayat kitab (Al Qur'an) yang nyata (dari Allah). Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memikirkan dan memahaminya.(Q.S. Yusuf 1-2)

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.(QS. Shad 29)

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.(QS. Al-Ahzab 21)

2. Alam semesta adalah sumber kedua. Al-qur’an menyuruh kita memikirkan keajaiban ciptaan Allah, proses pertubahannya dan hubungannya dengan manusia.

Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.(QS. Al-Ra’du 3)

Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.(QS. Az-Zumar 21)

Allahlah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur.(QS. Al-Jatziyah 12)

3. Diri manusia adalah sumber ke tiga. Manusia secara pisik maupun psikis supaya dijadikan bahan renungan dan pemikiran, agar dapat mengambil pelajaran yang berharga bagi penyempurnaan kehidupan.

Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?.(QS.Al-Thariq 5)

sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.(QS.al-Tin 4-6)

4. Sejarah umat manusia adalah sumber ke empat
Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri. (QS. Ar Rum 9)

Arah Perkembangan Ilmu Pengetahuan

            Menurut al-Qur’an, tujuan utama mengenal ilmu pengetahuan adalah memahami tanda-tanda Allah, menyaksikan kehadirannya diberbagai fenomena yang kita amati, sehingga menimbulkan kesadaran untuk mengagung kan dan bersyukur kepada Allah Sang Pencipta dan Pemelihara Alam semesta ini. Sebagaimana diisyaratkan dalah al-qur’an:
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fatir 28)

            Ilmu dan tehnologi bagaikan pedang bermata dua. Ia dapat digunakan untuk tujuan yang baik sekaligus tujuan yang jahat. Tehnologi muttahir memang telah memberi manfaat yang banyak bagi kehidupan ini, tetapi madharrat yang telah ditimbulkannya jauh lebih banyak lagi. Tehnologi nuklir telah banyak membantu memeberikan sumber energi, dan membantu dunia kedokteran untuk mendiagnose penyakit serta membunuh sel-sel kangker. Tetapi seperti telah diketahui bahwa 50.000 dari senjata nuklir yang ada di dunia ini mampu dan memiliki daya penghancur jutaan kali bom yang dijatuhkan di Nagasaki. Untuk itu maka kekuatan iman harus dimaksimalkan, supaya mampu memberikan arah yang benar terhadap pendaya gunaan ilmu dan tehnologi.
            Masa depan umat manusia sepenuhnya akan ditentukan oleh kolaborasi iman dan ilmu. Jika kolaborasi sinergis dapat berjalan dengan baik, maka masa depan yang menggembirakan akan terwujud. Sebaliknya jika tidak dapat bertemu dan bahkan ilmu dan tehnologi yang menang, maka masa depan dunia ini akan suram. Para ilmuwan dan agamawan supaya dapat duduk bersama memecahkan persoalan kemanusiaan dengan pikiran jernih. Para ilmuwan diharapkan bersikap rendah hati dan dapat menerima pesan-pesan agama. Begitu pula kaum agamawan harus membuka diri dengan temuan dan tawaran ilmu pengetahuan.
            Tehnologi memang hanya menawarkan jasa teknik untuk hidup lebih nyaman, tetapi secara social dampaknya akan sangat besar, karena dapat mengubah pola hidup beragama.. Teknologi telepon misalnya akan mengubah tatakrama silaturrahim, komputer mengubah cara belajar dan televisi akan mendominasi wacana dalam rumah tangga.  Sehingga tanpa di sadari tehnologi akan menjelma menjadi ideologi (agama) baru. Dengan begitu kehidupan ini akan sangat ditentukan oleh ilmu dan tehnologi, tetapi sekaligus akan dibayangi oleh proses pendangkalan terhadap penghayatan makna hidup, sebab manusia akan menjadi manja. pragmatis dan kurang peka terhadap dimensi spiritual.
            Sadar  akan kekurangan ini maka sekali lagi agama sudah semestinya tampil mendampingi IPTEK supaya dapat memberikan makna dan arah jalannya sejarah manusia kearah yang manusiawi, sesuai dengan harkat dan martabatnya yang fitri, yaitu makhluk yang dicipta secara material dan spiritual.

ISLAM DAN PEMBEBASAN KAUM TERTINDAS

Ada pernyataan menarik untuk kita renungkan dari Moeslim Abdurrahman (2005) bahwa “kemungkaran sosial lebih berbahaya secara kemanusiaan daripada kelalaian ritual normatif”. Pernyataan ini sejalan dengan ketentuan bahwa pada hakikatnya, agama Islam diturunkan untuk kepentingan manusia, bukan untuk kepentingan Tuhan. Dalam rumusan Imam al-Syathibi, agama disebut sesuatu yang ”bersumber dari Tuhan tapi diperuntukkan bagi manusia” (Ilâhiyatul masdhar wa insâniyyatul maudhû’).
Rumusan ini menggambarkan bahwa pola keberagamaan yang ideal adalah terjadinya pergulatan antara hubungan manusia kepada Tuhan dan kepada sesamanya. Ini juga berarti bahwa pelaksanaan ritual-formal-individual agama harus bersinergi dengan upaya pembelaan atas nilai-nilai kemanusiaan (hablum minallah dan hablum minannas).
Kini, fenomena religiusitas masyarakat Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat. Gairah religiusitas masyarakat mengalami eskalasi yang sangat menggembirakan. Namun, tingkat korupsi juga semakin mengharu-biru. Ini kenyataan yang ironis, karena kenyataan itu terjadi di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Selama ini ada asumsi  umum (salah kaprah) cukup kuat di tengah masyarakat bahwa substansi agama terletak pada ritual-formal-individual setiap pemeluk agama. Amalan-amalan ritualistik ini diyakini sebagai kunci penting menuju surga. Ia akan membawa pada keselamatan dan kebahagiaan eskatologis yang abadi. Akibat pola pemahaman agama semacam ini, seseorang yang makin saleh secara ritual tidak secara otomatis peduli terhadap persoalan kemanusiaan.
Karena itu, menumbuhkan semangat pembaruan dan penyegaran pemahaman keagamaan cukup mendesak untuk dilakukan. Pola keberagamaan seseorang sejatinya baru dapat dinilai ideal dan utuh (kaffah) apabila dibarengi upaya serius bagi pemihakan terhadap orang-orang yang tesisihkan (mustad'afin). Dengan kata lain, tingkat kesalehan ritual-formal-individual haruslah bersinergi dengan kesalehan sosial dan perhatian terhadap aspek kemanusiaan.

Ajaran Islam Sebagai Kekuatan Pembebas
Di bawah ini akan dikemukakan konstruksi Agama Islam yang kaffah, agama yang senantiasa menuntut umatnya tidak hanya shalih secara ritual , tapi juga harus shalih secara social secara sinergis, terutama dalam membebaskan kaum tertindas (mustadh’afin).
Pertama, dari sisi historis awal mula kelahiran agama Islam, adalah untuk merespons penderitaan dan kesengsaraan yang mencekam kehidupan umat manusia akibat penindasan dan eksploitasi yang dilakukan komunitas sosial maupun individul yang dominan. Agama Islam lahir sebagai bentuk keprihatinan atas realitas sosial yang timpang. Untuk itu, kehadirannya merupakan upaya kritik dan pembelaan atas upaya-upaya dehumanisasi, penistaan terhadap harkat dan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam catatan sejarah, sejumlah pendiri agama (Nabi) justru datang dari komunitas sosial yang mengalami penindasan dan eksploitasi cukup lama. Nabi Musa tampil karena prihatin atas penderitaan Bani Israil yang dalam rentang waktu cukup lama ditindas Fir’aun. Isa al-Masih , putra Maryam juga datang kerena prihatin atas penderitaan rakyat banyak pada zamannya.
Nabi Muhammad juga mempunyai peranan dan misi yang sama. Pada awal masa kelahirannya, Islam melontarkan kritik cukup mendasar pada sistem sosial-ekonomi dan budaya Quraisy Mekkah. Sistem sosial-ekonomi yang menindas dan diskriminatif serta ketiadaan tanggung jawab sosial (sense of social responsibility) itu cukup mengakar dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Melihat kondisi sosial yang amat timpang ini, Nabi Muhammad saw mengambil peran sebagai pemimpin kaum tertindas dan lebih memilih gaya hidup mereka (bersahaja dan kesederhanaan). Kemudian beliau melakukan upaya pembelaan terhadap mereka. Itulah uraian ringkas yang cukup mudah kita temukan dalam beberapa literatur sejarah agama Islam dan pendirinya.
Kedua, dari sisi doktrinal-normatif agama, teks-teks suci agama yang bersifat normatif sangat perlu dipahami secara utuh, sehingga nilai-nilai substansial agama dapat ditangkap secara keseluruhan. Dalam banyak ayat Alqur'an, misalnya, kita dapat menemukan penjelasan bahwa agama megidealkan antara dua kepentingan, kepada Tuhan dan manusia. Bahkan problem kemanusiaan terkadang lebih penting untuk dikedepankan.
Surat-surat awal Alqur’an seperti al-Ma’un, al-Kautsar, al-Humazah, al-Fajr, al-Lail dan al-Balad, menunjukkan indikasi ke arah itu. Surat-surat tersebut sangat mengecam praktik akumulasii kekayaan yang diperoleh melalui cara eksploitasi sosial ekonomi dalam bentuk ketidakpedulian atas penderitaan orang-orang tertindas dan lemah (anak yatim, miskin, dll.).
Dalam surat al-Ma'un juga ditegaskan bahwa para pendusta agama adalah mereka-mereka yang hanya menikmati sembahyang (juga ritual-ritual formal lainnya), tapi lupa akan nasib orang-orang yang tereliminasi dan menderita secara sosial-ekonomi. Bahkan, dari sekian banyak ayat Alquran, jumlah ayat-ayat yang berkaitan dengan kehidupan sosial jauh lebih banyak ketimbang ayat-ayat ibadah ritual-formal-individual. Bahkan, perbandingannya hampir satu berbanding seratus.
Hal ini cukup menjadi bukti bahwa agama Islam, sejatinya untuk menjaga nilai dan memenuhi kepentingan kemanusiaan. Dalam kaidah usul fikih pun disebutkan bahwa “amal perbuatan yang dapat dirasakan mamfaatnya oleh orang banyak lebih utama daripada amalan yang manfaatnya hanya dirasakan diri sendiri” (al-muta’addî afdlal minal qâshir). Itulah penjelasan cukup valid yang mudah ditemukan, ketika kita membaca beberapa literatur sejarah agama Islam dan sumber doktrinal-normatif nya secara utuh.

Dalam surat al-A’raf: 157 dinyatakan dengan tegas bahwa misi Nabi Muhammad yang menjadi cirikhas umat Muhammad adalah untuk membebaskan belenggu yang melilit umat manusia.
الذين يتبعون الرسول النبي الأمي الذي يجدونه مكتوبا عندهم في التوراة والإنجيل يأمرهم بالمعروف وينهاهم عن المنكر ويحل لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبائث ويضع عنهم إصرهم والأغلال التي كانت عليهم فالذين ءامنوا به وعزروه ونصروه واتبعوا النور الذي أنزل معه أولئك هم المفلحون(157)

“Yaitu orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Atas dasar inilah , maka Dr. Ali Syari'ati mendefinisikan ”manusia tercerahkan”  adalah ”mereka-mereka yang tak hanya memiliki tanggung jawab ibadah-ritual kepada Allah, tapi sekaligus orang yang punya tanggung jawab sosial kemanusiaan pada sesama saudara manusianya”. Tanpa adanya komitmen sosial (ibadah sosial) seseorang belum dapat dikatakan sebagai manusia yang tercerahkan dan pola keberagamaannya tidak dapat dianggap utuh.

HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA


            Berbicara tentang hubungan Islam dan Negara merupakan hal yang sangat menarik. Selama ini paling tidak ada dua pandangan di kalangan umat Islam; apakah negara kaum muslimin itu harus berupa negara agama(dalam arti kekuasaan negara dikendalikan oleh kaum agamawan dan norma-agama, misalnya negara harus berbentuk Khilafah) atau boleh negara sekuler (dalam arti institusi kenegaraan yang digunakan dan norma yang mengendalikan dirumuskan berdasar kesepakatan warga negara, misalnya dalam bentuk negara nasional).
            Telah disepakati bahwa hubungan antara agama dan negara, keduanya saling membutuhkan guna saling memperkokoh cita-cita dan eksistensi masing-masing. Sebab dalam negara harus ada values (nilai-nilai) yang biasanya ada dalam ajaran agama. Oleh karena itu sesungguhnya negara memerlukan dukungan dan kontrol dari agama. Demikian pula sebaliknya, karena agama juga membutuhkan struktur dan fasilitas politik untuk menyebarkan nilai dan misi agama , maka agamapun membutuhkan negara.
            Persoalan yang dihadapi, bahwa sekarang ini tidak ada negara yang tumbuh di luar wilayah nasionalitas (yang dihuni oleh pemeluk agama yang plural), dan karena pemeluk agama adalah juga sebagai warga negara, maka tuntutan agama dan negara bertemu dalam sebuah pribadi. Oleh karena itu secara politis harus dicarikan titik temu dan rambu-rambu, supaya kehidupan negara dan warganya berjalan secara damai. Namun dalam perjalanan sejarahnya sering kali terjadi benturan antara agama dan negara. Hal ini terjadi karena berbagai factor. Antara lain adalah, karena artikulasi agama sering kali ditentukan oleh kepentingan individu dan kelompok, sehingga bisa terjadi benturan dengan kepentingan individu dan kelompok yang sedang bertengger dipuncak kekuasaan negara. Di sinilah dapat dipahami mengapa perebutan kekuasaan antara berbagai kepentingan terjadi, termasuk antar pemeluk agama sering dijumpai.

Islam Dan Institusi Negara

            Jika kita meperbincangkan  geneologi civil society, antara tradisi yang berkembang di Barat dan Islam memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Yesus (Nabi Isa as) lahir dan berjuang tetapi kalah dihadapan kekuasaan politik. Sementara itu Nabi Muhammad saw lahir di padang pasir, kemudian berjuang dan menang, bahkan menegakkan kekuasaan politik dan mewariskannya kepada generasi sesudahnya. Di sinilah jelas perbedaannya. Oleh karena itu, di Barat pemisahan agama dan negara di dasarkan pada sejarah dan ajaran yang berbeda dari pengalaman Islam.  Negara begitu mandiri dan independen, serta didukung oleh rasionalitas sekuler. Sedangkan dalam pengalaman sejarah Islam intervensi ulama dan agama sangat kuat. Jika di Barat secara empiris-historis mereka sepakat membangun negara sipil berdasar humanisme rasional, maka dalam Islam hingga sekarang ini masih sedang mencari format yang pas dalam konteks negara modern. Boleh saja kita berpendapat bahwa negara Madinah adalah egaliter, adil dan demokratis, namun perlu dicatat bahwa factor Nabi Muhammad saw sebagai figur sentral yang sangat kuat, yang menjamin persamaan. Setelah Nabi saw wafat , maka persamaan itu lenyap dan digantikan oleh faham dinastiisme.
             Lalu bagaimana sebenarnya konsep Islam.Tidakkan konsep khilafah yang pernah berjaya pada masa sahabat dan dinasti sesudahnya itu merupakan contoh ideal yang harus diadopsi dan diperjiangkan?. Dalam hal ini sampai kini masih diperdebatkan.
            Jik kita melihat pada doktrin keagamaan otentik berupa nash, maka pandangan tentang khilafah sebagai institusi kenegaraan yang mengikat, agaknya cukup sulit. Berbagai data histories menunjukkan bahwa khilafah sebenarnya tidak termasuk bagian dari doktrin keagamaan, tetapi masuk pada wilayah instutusi social. Dan sebagai institusi social, maka konsep khilafah selalu berubah secara dinamis, mengikuti dinamika social di sekitarnya. Khilafah yang terbentuk sebara demokratis (dengan segala variannya) di masa khulafaurrasyidin, pada ahirnya berubah menjadi autokratik-monarkhis. Dan sebutan kholifah juga mengalami perkembangan, seperti Amirul Mukminin, Sulthan, Amirul Umara’, Imam, Syarif, Khan dll.
            Kelemahan konsep khilafah untuk dijadikan sebagai rujukan tunggal sebagai institusi kenagaraan kaum muslimin, di samping tidak adanya landasan tekstual yang kongklusif, juga tidak ditemukannya struktur organisasi yang baku dan landasan filosofis yang dapat dijadikan sebagai acuan secara universal, sekalupun sejak zaman nabi Muhammad , masyarakat muslim telah terhimpun dalam sebuah organisasi politik bernama negara. Sebagai negara yang berdaulat, khilafah tentu saja telah memiliki struktur, walaupun sederhana, tetapi itu bukan berdasar landasan normative, tetapi bergerak atas kebutuhan histories, berdasar ijtihad para ulama sesuai zaman dan tantangan yang dihadapi. Landasan tekstual yang ada hanya memberikan konsep dasar yang tidak bersifat kelembagaan, tepi lebih bersifat moral dan spiritual. Misalnya perintah musyawwarah, berbuat adil, persamaan hak didepan hokum.
            Bukti klasik tentang tidak adanya rujukan tekstual yang kongklusif tersebut adalah bahwa setelah Rasulullah wafat, para sahabat tidak memperoleh acuan normative dari Nabi/Rasulullah untuk menentukan figure penggantinya sebagai penyelenggara tugas-tugas ekskutif pemerintahan Madinah. Nabi tidak menentukan siapa penggantinya kelak setelah beliau wafat. Keriteria yang diperlukan untuk mengangkat pengganti beliau justru diperoleh dari gagasan para sahabat, yang kemudian mereka tuangkan dalam prosedur pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Prosedur pemilihan yang dikenal dengan  bay’at tsaqifah ini ditetapkan oleh muslim sunni sebagai landasan ideal untuk menyelenggarakan suksesi  kepemimpinan dalam Islam. Terhadap prosedur pemilihan Abu Bakar ini, para ahli menilainya sebagai asas konsep demokrasi dalam Islam. Argumentasi yang dijadikan pertimbangan ialah adanya tiga komponen penting yang dilaluinya, yaitu pencalonan (nomination), kompromi antar kelompok (mutual consultation) dan bay’at (kontrak antara publik dan pemimpin terpilih).
            Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa suksesi kepemimpinan versi sunni (ahlu sunnah), dari sudut kelembagaannya masuk katagori institusi social. Pengkatagorian ini berangkat dari legitimasi yang diperolehnya berdasar consensus publik serta dibuat atas dasar akad kontrak antara pemimpin terpilih dengan rakyat. Maka sebagai institusi social , khilafah memiliki ruang gerak yang dinamis, mengikuti dinamika social yang berlangsung. Oleh karena itu, nama dan struktur kenegaraan Islam dapat berubah sesuai dengan perkembangan. Itulah sebabnya, maka sejarah ke=khalifahan dalam Islam berkembang sesuai dengan konteks kemaslahatan yang dihadapi. Dengan demikian, maka institusi kenegaraan yang berbentuk republik atau monarkhi sebagaimana Arab Saudi dan sebagainya, selama menghadirkan kemaslahatan, maka Islam tidak mengingkarinya.
Dalam konteks ini yang penting digaris bawahi adalah tegaknya keadilan, kemaslahatan dan kedamaian warganya. Oleh karena itu peran agama menjadi sangat penting untuk dijadikan sebagai acuan moral dan spiritual. Kaidah Fiqih menyatakan :”Tasharruful Imam manutun bilmaslahat” (Aktivitas dan kebijakan kepala negara dalam penyelenggaraan pemerintahan harus sesuai dengan tuntutan kemaslahatan warga negara). Nabi juga menyatakan : “tidak ada ketaatan kepada seseorang yang melakukan penyimpangan agama”.
Sebagai acuan moral dan spiritual, maka agama (Islam) akan memberikann arah bagi negara supaya tetap berjalan dan dapat dipertangung jawabkan sesuai dengan cita kemanusiaan dan ketuhanan. Dari sudut pandang Islam, Negara adalah instrumen , alat yang penting untuk menyosialisasikan cita-cita moral Islam. Dan sebagai alat, maka negara tidak harus bernama Islam. Karena itu untuk kasus Indonesia, negara Pancasila dapat dijadikan sebagai instrumen guna melaksanakan cita moral Islam berupa kebebasan, keadilan, kemakmuran, persamaan, persaudaraan dan sebagainya.
Persoalan yang muncul kemudian adalah maukah Pancasila menerima landasan moral Islam (Nilai-nilai kenabian). Meminjam teori A.J. Taynbee, bila kita berbicara tentang nilai kenabian, maka semua agama samawi banyak memiliki persamaan. Dengan demikian usaha bersama untuk menggali dan merumuskan nilai-nilai itu antar berbagai pemeluk agama sangat mungkin dilakukan, asal iklim yang baik dan segar dapat diciptakan. Kesemuanya ini tergantung kemauan politik yang bertangungjawab dan tulus serta sifat kenegarawanan yang dewasa.
Ketika negara melakukan penyimpangan moral, maka agama (Islam) dan ulamaknya harus melakukan koreksi dan kritik membangun. Ketika masyarakat menglami tingkat ekonomi yang surplus, agama akan menawarkan keseimbangan yang bersifat etik dan spiritual. Menghadapi masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah dan terbelakang, agama akan dating memberikan seruan untuk meningkatkan etos belajar. Ketika terjadi ketimpangan ekonomi, agama akan berjihad untuk menyerukan pemberantasan kemiskinan, dan ketika korupsi tak terbendung, maka agama akan berjihad menyerukan pemberantasan korupsi.
Modus kehadiran agama seperti ini biasanya bersifat langgeng, menyertai kehidupan manusia yang fluktuatif. Di sini agama selalu hadir memberikan jawaban yang pasti, berupa kesejukan, ketentraman dan kepasrahan. Dari penjelasan ini dapat dipahami mengapa jarang sekali didapati negara yang dapat melepaskan diri dari pengaruh agama sama sekali. Negara-negara barat, termasuk Amerika, tidak pernah sepi dari pengaruh kaum agamawan, seperti Paus di Vatikan.
           
DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA

Yang dimaksud judul ini adalah hubungan timbal balik yang saling membutuhkan dan mempengaruhi. Islam merupakan ajaran keselamatan yang bersifat spiritual. Oleh sebab itu ia harus diformulasikan oleh bahasa budaya yang penuh bijak, lembut dan beradab.
Kaum positivisme menganggap agama sebagai puncak ekspresi kebudayaan. Akan tetapi sebaliknya menurut kaum teolog dan agamawan, kebudayaan merupakan perpanjangan dari prilaku beragama. Agama bagaikan ruh yang datang dari langit, sedangkan budaya adalah jasad bumi yang siap menerima ruh agama, sehingga pertemuan keduanya melahirkan peradaban. Ruh tak bisa beraktifitas dalam pelataran sejarah tanpa jasad. Sebaliknya jasad akan mati dan tak sanggup menggapai makna dan nilai-nilai tanpa agama.
Untuk memahami kehidupan beragama, bisa dipahami melalui dua dimensi; personal dan cultural. Melalui dimensi personal, agama memberikan acuan hidup seseorang dan untuk memberikan makna  bagi setiap tindakan yang dilakukan. Jika sain dan teknologi menawarkan jasa tehnik menyelenggarakan hidup, maka agama akan memberikan arah dan makna serta tujuan hidup. Sedang dimensi cultural, memahami hehadiran agama akan bergerak dan tumbuh melalui wadah kultur, sehingga akan muncul kultur yang bercirikan agama, atau simbul-simbul cultural yang digunakan untuk mengekpresikan nilai agama. Oleh karena itu mengingat masyarakat tumbuh dalam sebuah kultur yang beragam, maka ekspresi  sebuah agama secara kultural dan simbolik bisa juga beragam, sekalipun pesan yang dibawa sama.
Selanjutnya mengingat kualitas individu dan budaya di mana sebuah agama tumbuh bukanlah seperti kaset kosong , maka antara agama dan budaya pada ahirnya tidak mungkin dipisahkan , Keyakinan agama seseorang akan merasuki  kehidupan dan tindakannya. Menyadarai hal ini maka sangat logis bahwa ekspresi dan artikulasi keagamaan tidak pernah berwajah tunggal. Dalam konteks Islam. Sekalipun terdapat ajaran baku yang diyakini bersama, namun pada level pemahaman, penafsiran , tradisi ban keyakinan, akan dijumpai keragaman. Bahkan sebagian keragaman ini telah melembaga sebagai madzhab (school of thought)

PERSPEKTIF ISLAM TENTANG PENYEMPURNAAN KEPRIBADIAN MANUSIA

            Di kalangan Sufi, dikenal suatu riwayat sebagai semboyan “siapa yang dapat mengenali diriya maka ia akan mengenal Tuhannya”.Dari ungkapan ini, maka mengenali diri sendiri merupakan tangga yang harus dilewati seseorang untuk mendaki ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka mengenal (memahami) Tuhan. Namun persoalan serius yang dihadapi manusia (sebagaimana diakui para psikolog, failosof dan para ahli lainnya), pada umumnya mereka mengalami kesulitan, bahkan gagal dalam mengenali jati diri dan hakikat kemanusiaannya.
Siapa sesungguhnya hakikat manusia, apakah ia mahluk material/jasmani, ataukah ia sesungguhnya mahluk sepiritual.  Dalam al-Qur’an ia terkadang disebut dengan “ basyar” dan kadang disebut dengan “insan”. Kata “basyar” memiliki makna tampak dan indah. Dari sini manusia berbeda dengan jin yang tak tampak. Kata “basyar” biasanya digunakan untuk menyebut proses kejadian dan perkembangan  manusia mulai awal hingga mencapai dewasa. Sedangkan kata “insan” terambil dari akar kata “uns” yang artinya jinak dan harmonis. Kata “insan” ini digunakan untuk menunjuk totalitas manusia yang meliputi jiwa, raga , pisik dan psikis dengan segala keunikannya.
Dalam al-Qur’an dinyatakan secara tegas bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang terbaik di banding makhluk lainnya(al-Alaq: 4). Ia memiluki potensi yang demikian prima. Namun begitu Allah segera memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya (secara actual), masih belum selesai (setengah jadi), sehingga masih harus berjuang untuk menyempurnakan dirinya.(al-Syams: 7-10). Proses penyempurnaan ini sangat mungkin untuk dilakukan, sebab pada naturnya manusia itu fitri , hanif  dan berakal.Bahkan disamping sebagai hamba Allah, manusia ditugasi memikul amanat sebagai khalifah (pemimpin untuk memakmurkan bumi)di muka bumi ini.
Kemudian bagaimana proses penyempurnaan itu harus dilakukan. Banyak para ulama menyampaikan pendangan dan pengalamannya. Di antaranya Ibnu Arabi. Ia menggambarkan bahwa di dalam diri manusia terdapat tiga komponen yang amat menentukan kualitas kemanusiaannya; yaitu ruh, jasad dan nafsu. Ruh diciptakan Allah dari spiritNya, karena itu dia cenderung pada hal-hal yang suci dan baik. Sedang jasad manusia diciptakan dari tanah, karena itu memiliki kecenderungan yang rendah dan kotor. Adapun nafsu diciptakan sebagai barzah(terminal) yang ada di antara ruh dan jasad. Nafsu merupakan motor yang mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu. Jika nafsu dapat didekatkan kepada ruh, maka ia akan cenderung kepada hal-hal yang suci dan baik. Dan pada gilirannya manusia akan memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dan suci. Sebaliknya jika nafsu manusia dekat dengan jasad, maka ia akan memiliki kecenderungan kepada hal-hal yang buruk dan rendah. Maka pada gilirannya manusia akan gemar melakukan perbuatan tercela dan rendah.  Atas dasar ini, maka proses penyempurnaan dirinya, manusia harus senantiasa berjuang mendekatkan nafsunya kepada hal-hal yang bersifat spiritual dan suci, supaya nafsunya menjadi nafsu mutma’innah.yaitu nafsu yang damai dan mendapat ridlo Allah.
Mengapa nafsunya yang dikendalikan, sebab masalah  utama yang dihadapi manusia supaya hidupnya damai, adalah memelihara da meningkatkan kesucian jiwanya. Dengan jiwa yang bersih, maka ia akan senantiasa berpikir pisitif dalam menghadapi berbagai romantika dan problema kehidupan ini.
Salah satu tahapan untuk meningkatkan kesucian jiwa yaitu melalui tiga maqam tahapan; ta’alluq, takhalluq dan tahaqquq. Pertama, proses ta’alluq ini bisa dilakukan melaui dzikir, yaitu berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah. Di manapun kita berada jangan sampai lepas dan melupakan Allah sebagai Tuhan dan Pemelihara alam semesta ini.Perbuatan ibadah mahdlah (murni) seperti shalat misalnya merupakan sarana dzikir yang paling ampuh (Aqimisshalata li zdikri). Kedua, takhalluq; yaitu secara sadar berusaha meniru sifat-sifat Allah yang Maha Mulya, sehingga setiap mukmin memiliki sifat dan prilaku yang terpuji. Proses ini disebut juga sebagai proses internalisasi sifat-sifat Tuhan ke dalam diri manusia. Maqam Ketiga tahaqquq, yaitu suatu kemampuan untuk mengaktualkan kesadaran dan kapasitas diri sebagai mukmin yang (dalam dirinya) telah didominasi oleh kesucian dari sifat-sifat Tuhan, sehingga prilaku dan sikapnya secara otomatis mencerminkan kecian dan kemulyaan sifat-sifat tersebut (berakhlaqul karimah).
Inilah salah satu kesimpulan dari proses yang ditawarkan Allah jika seseorang ingin mendapatkan kebahagiaan hidup, yaitu mensucikan jiwa, sebagaimana diisyaratkan dalam surat al-Syams 7-10 :

ونفس وما سواها(7)فألهمها فجورها وتقواها(8)قد أفلح من زكاها(9)
وقد خاب من دساها(10)
ISLAM DAN EMANSIPASI KEMANUSIAAN
            Kata “emansipasi” berasal dari bahasa Inggris yang artinya pembebasan, yakni pembebasan dari berbagai belenggu yang mengganggu eksistensi dan martabatnya sebagai manusia. Tema yang akan dibicarakan ini dalam rangka menjawab sebuah pertanyaan; Apakah Islam (ajaran-ajarannya) sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan?.
            Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Alaq, bahwa manusia merupakan puncak ciptaan Allah dan makhlukNya yang tertinggi. Hal ini mengambarkan betapa tingginya harkat dan martabat kamanusiaan. Tetapi dalam surat tersebut juga ditegaskan bahwa derajat dan martabat manusia bisa terprosok dan jatuh pada kaadaan yang paling rendah, bahkan dalam surat al-A’raf 179 dinyatakan bahwa kejatuhan mereka itu bisa lebih rendah di bawah derajat binatang. Untuk menjaga dan membebaskan dirinya dari kejatuhan itu diserukan supaya manusia mempercayai Allah (iman) dan berbuat kebajikan (amal shalih).
            Dari penjelasan kitab suci al-Qur’an di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut asal kejadiannya(potensi), manusia itu merupakan makhluk mulya, tetapi kerena berbagai hal yang muncul, dan disebabkan oleh kelalaian dan kecerobohannya sendiri (secara actual), manusia sering kali keluar (bahkan menyimpang) dari fitrahnya, sehingga terjatuh ke dalam lembah kehinaan. Manusia akan terlesamatkan jika ia memiliki komitmen terhadap nilai-nilai ilahiyah dan berbuat baik kepada sesamanya. Dari perspektif ini maka dapat dipahami bahwa kehadiran para Rasul di tengah-tengah kehidupan manusia adalah untuk memimpin manusia melawan kejatuhannya sendiri. Atau dalam bahasa lain para Rasul itu memimpin manusia untuk membebaskan harkat dan martabatnya dari kejatuhan dan kehinaan.

Syirik dan Kufur : Problem Utama Kemanusiaan

           
Di antara sekian persoalan yang dihadapi umat manusia adalah meraja lelanya kezaliman , sehingga kadilan nampak sebagai fatamorgana dan ilusi. Eksploitasi, pemerasan, dan penindasan manusia atas manusia lain merupakan realitas actual yang  menghiasi wajah kehidupan setiap bangsa di muka bumi ini (baik secara pilitis, ekonomi maupun budaya). Mengapa manusia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Salah satu sebab paling utama yang memicu munculnya prilaku tersebut adalah sikap Syirik (politeisme) dan kufur (menentang dan ingkar kepada Allah)
             Syirik pada hakikatnya adalah pengangkatan sesuatu selain Tuhan (Allah) secara batil sedemikian rupa sehingga memiliki nilai lebih tinggi dari manusia sendiri. Dengan kata lain, orang yang melakukan syirik secara apriori menempatkan diri, harkat serta martabatnya lebih rendah dari obyek yang di syirikkan (pada hal manusia adalah mahluk termulya). Dalam kaadaan selanjutnya orang yang bersangkutan dapat terjerumus ke dalam pola dan sikap hidup atas belas kasih sesuatu yang dimitoskan tersebut. Ini artinya manusia telah kehilangan harkat dan martabatnya yang tinggi, ia tidak lagi wujud sebagai manusia yang merdeka, sebab dirinya telah menjadi hamba dari obyek yang diagungkannya.
            Obyek yang disyirikkan bisa berupa sesuatu atau gejala alam, sesama manusia atau bahkan dirinya sendiri. Seorang musyrik akan terbelenggu oleh sesuatu yang dimitoskan, karena itu maka ia cenderung menolak kebenaran. Jika yang dimitoskan adalah dirinya sendiri (karena didorong oleh hawa nafsunya), maka manusia akan cenderung besikap angkuh dan sombong serta memutlakkan pandangan dan fikirannya. Orang yang demikian akan mudah terseret kepada sikap-sikap tertutup dan fanatik, yang akan bereaksi secara negatif terhadap sesuatu kebenaran yang ating dari luar. Inilah salah satu bentuk kungkungan atau perbudakan oleh tirani egoisme. Gambaran mengenai kenyataan ini disebut dalam al-Qur’an surat al-Jatsiyah 23:

أفرأيت من اتخذ إلهه هواه وأضله الله على علم وختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة فمن يهديه من بعد الله أفلا تذكرون(23)
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”

Selanjutnya jika yang dimitoskan berupa alam/gejala alam, maka belenggu itu akan berwujud tertutupnya kemampuan manusia untuk melihat hokum-hukum alam secara obyektif. Dengan kata lain syirik menutup pintu ilmu pengetahuan, karena pendekatan yang digunakan selalu melalui mitologi(mitos) yang lebih banyak bersandar pada hayalan. Sedangkan mitologi terhadap sesama manusia akan menghasilkan tirani dan kultus. Hal ini akan menghasilkan efek pembelengguan yang sangat kuat berupa perampasan hak dan kemerdekaan harkat kemanusiaan, baik dalam bidang politik, ekonimi dan lain sebagainya. Maka disebabkan sifat pembelengguan yang menghancurkan harkat dan martabat manusia inilah, perbuatan syirik dinyatakan sebagai dosa besar yang tidak terampuni. Di anatara tokoh yang dicontohkan sebagai tiran (thoghut) adalah Fir’un. Ia memerintah sebagai penguasa yang obsolut dan sewenang-wenang, bahkan mengaku sebagai tuhan.

Islam dan Emansipasi Kemanusiaan

              Islam adalah agama kedamaian, keselamatan, dan kesejahtraan. Karena itu ajarannya selalu ditujukan kepada terwujudnya pribadi dan masyarakat yang adil dan sejahtra, lahir maupun batin. Ada tiga kata kunci yang sangat penting dalam Islam, yaitu Iman, Islam dan taqwa. Tiga istilah tersebut memiliki makna mirip dan saling menyempurnakan. Kata Islam berasal dari “salima, silm dan aslama”. Artinya selamat, sejahtra dan berserah diri. Dari makna ini dapat disimpulkan bahwa sipa yang berserah diri kepada Allah, maka akan semat dan sejahtra. Sedangkan kata iman baerasal dari ungkapan “amana, amanat dan amn”, artinya mempercayai, dapat dipercaya dan aman. Dari istilah ini maka disimpulkan bahwa siapa yang membercayai Allah akan menjadi orang yang dapat memegang amanat dan terlindungi/aman. Adapun istilah taqwa berasal dari kata “waqa, dan wiqayah”, artinya takut, menjaga diri dan terlindungi. Dari sisni kemudian disimpulkan bahwa siapa yang takut kepada Allah dengan menjaga ajaranNya, maka akan terlindung/selamat dari api neraka.
             Telah diketahui bersama bahwa titik tekan seruan dan dakwah Islam adalah bagaimana supaya manusia beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa secara benar. Oleh karena itulah maka seruan al-qur’an tentang keimanan banyak ditujukan kepada kaum musyrik. Yaitu keimanan yang mengajarkan bagaimana mengubah manusia dari paham tuhan palsu kepada aqidah tauhid. Demi harkat dan martabatnya sendiri, manusia harus menghambakan diri hanya kepada Allah Yang Esa. Dalam gambaran grafisnya, manusia harus melihat ke atas hanya kepada Allah Yang Maha Tinggi, dan kepada alam harus melihat ke bawah. Sedangkan kepada sesama manusia harus melihat secara mendatar (horizontal). Hanya dengan sikap seperti itu manusia akan menumukan hakikat dirinya, makhluk ciptaan Allah yang dimulyakannya.
            Aqidah tauhid, mengantarkan manusia untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dan orientasi hidupnya. Ungkapan bahwa hidup ini karena dan demi ridla Allah, menggambarkan orientasi tersebut. Dalam Istilah agama orang yang bersikap demikian itu dinyatakan mengikuti “jalan lirus” (sirat al-mustaqim), jaitu jalan yang membentang searah dengan kehendak Allah. Dalam realitas keseharian, manusia harus senantiasa berjuang untuk hidup sejalan dengan bisikan hati nurani yang selalu menghendaki kebaikan dan kesucian. Dus ia akan bertindak manusiawi, karena hati nurani merupakan inti kemanusiaan.
            Salah satu konsekuensi logis paham Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid) yang sangat kuat ialah adanya dampak pembebasan social, yaitu munculnya semangat egalitarianisme (paham persamaan derajat). Maka atas dasar inilah, ajaran tauhid menghendaki system kemasyarakatan yang demokratis berdasarkan musyawarah, yang terbuka, di mana masing-masing anggota masyarakat saling mendengar dan menghargai, memperingatkan tentang apa yang baik dan benar, tentang ketabahan menghadapi problema kehidupan. Dari sini dapat dipahami mengapa Islam menentang absolutisme antar sesama manusia. Kebebasan berdasar kan Tauhid menghendaki adanya kemampuan menghargai pendapat orang lain, karena mungkin pendapat yang lain lebih baik dari pada pendapatnya sendiri.
            Dengan semangat paham tauhid, tidak dibenarkan adanya klaim seseorang yang memegang kebenaran mutlaq, dan sebaliknya pahan ini mengharuskan seseorang berani memikul tanggungjawabnya sendiri, tanpa perantara orang lain. Kebebasan dan tanggung jawab merupakan dua sisi mata uang yang tak terpisah; tidak ada kebebasan tanpa tanggung jawab, sebaliknya tidak ada tangung jawab , jika seseorang tidak bebas. Inilah salah satu dari makna kalimat Suyahadat: Pembebasan dari semua belenggu kepercayaan yang batal, disusul kepercayaan dan tanggung jawab kepada Allah, Tuhan yang benar (hak).
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...