Tema
ini bisa mengandung berbagai perspektif; normative, filosofis,
histories, sosiologis dan sebagainya. Dalam pembahasan ini akan mengambil sudut
pandang normative, sebuah perspektif yang mengemukakan ujaran dan ajaran yang
termaktub dalam sumber utama Islam.
Secara
tekstual sangat gampang dapat ditemukan berbagai firman Allah dalam al-Qur’an
dan sabda Nabi saw yang tegas-tegas mendorong supaya kaum muslimin membaca dan
memikirkan fonomena alam semesta ini. Baik yang bersifat kongkrit maupun yang
abstrak. Ketika Nabi Muhammad memperoleh wahyu pertama, ayat yang diterimanya
adalah perintah membaca (al-Alaq 1-5). Dalam ayat ini tidak dijelaskan apa yang
menjadi obyek pembacaan. Ini berarti bahwa semua fenomena alam , seluruhnya
bisa dijadikan sebagai obyek pembacaan. Surat al- Alaq hanya memberikan garis,
bahwa pembacaan itu harus dilandasi dengan “menyebut asma Allah”. Oleh para
ahli disimpulkan bahwa membaca apapun yang dilakukan umat Islam harus dalam
kerangka tugas pengabdian dan ibadah kepada Allah.
Berdasar
penjelasan ini maka umat Islam memiliki hak untuk mengembangkan berbagai
pengetahuan dan tehnologi yang bermanfaat, selama tidak bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Abdus Salam, seorang muslim pemegang
hadiah Nobel 1979 dalam ilmu fisika menyatakan: “Tafakkur adalah
berefleksi, berfikir tentang dan menemukan hukum-hukum alam(sain). Sedang tasykir
adalah memperoleh pengetahuan atas alam (tehnologi). Keduanya, sepanjang zaman,
merupakan dorongan-dorongan seluruh umat manusia. Adalah keagungan Islam bahwa
al-Qur’an dengan perintah yang berulang kali, mengandung suruhan untuk bertafakkur
dan bertasykir(mengejar sain dan tehnologi), sebagai kewajiban atas
masyarakat muslim”.
Sumber-sumber Ilmu Pengetahuan
Al-Qur’an
menunjukkan empat sumber untuk
memperoleh pengetahuan:
1.
Al-qur’an dan Sunnah Nabi. Keduanya merupakan sumber pertama ilmu. Al-qur’an
berulang kali meningatkan supaya kita
memikirkan ayat-ayatNya dan mengambil pelajaran, serta mengingatkan kita untuk
mengambil Rasul sebagai contoh dan teladan.
Alif, laam, raa. Ini
adalah ayat-ayat kitab (Al Qur'an) yang nyata (dari Allah). Sesungguhnya Kami
menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memikirkan dan
memahaminya.(Q.S. Yusuf 1-2)
Ini adalah sebuah
kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai pikiran.(QS. Shad 29)
Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.(QS. Al-Ahzab 21)
2. Alam
semesta adalah sumber kedua. Al-qur’an menyuruh kita memikirkan keajaiban
ciptaan Allah, proses pertubahannya dan hubungannya dengan manusia.
Dan Dia-lah Tuhan
yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya.
Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan
malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.(QS. Al-Ra’du 3)
Apakah kamu tidak
memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka
diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air
itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu
kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur
berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.(QS. Az-Zumar 21)
Allahlah yang
menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan
seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan
mudah-mudahan kamu bersyukur.(QS. Al-Jatziyah 12)
3. Diri
manusia adalah sumber ke tiga. Manusia secara pisik maupun psikis supaya
dijadikan bahan renungan dan pemikiran, agar dapat mengambil pelajaran yang
berharga bagi penyempurnaan kehidupan.
Maka hendaklah
manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?.(QS.Al-Thariq 5)
sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami
kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada
putus-putusnya.(QS.al-Tin 4-6)
4. Sejarah umat manusia adalah sumber ke
empat
Dan apakah mereka
tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat
(yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah
lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta
memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah
datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata.
Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah
yang berlaku zalim kepada diri sendiri. (QS. Ar Rum 9)
Arah Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Menurut
al-Qur’an, tujuan utama mengenal ilmu pengetahuan adalah memahami tanda-tanda
Allah, menyaksikan kehadirannya diberbagai fenomena yang kita amati, sehingga
menimbulkan kesadaran untuk mengagung kan
dan bersyukur kepada Allah Sang Pencipta dan Pemelihara Alam semesta ini.
Sebagaimana diisyaratkan dalah al-qur’an:
Dan demikian (pula) di antara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.
(QS. Fatir 28)
Ilmu
dan tehnologi bagaikan pedang bermata dua. Ia dapat digunakan untuk tujuan yang
baik sekaligus tujuan yang jahat. Tehnologi muttahir memang telah memberi
manfaat yang banyak bagi kehidupan ini, tetapi madharrat yang telah ditimbulkannya
jauh lebih banyak lagi. Tehnologi nuklir telah banyak membantu memeberikan
sumber energi, dan membantu dunia kedokteran untuk mendiagnose penyakit serta
membunuh sel-sel kangker. Tetapi seperti telah diketahui bahwa 50.000 dari
senjata nuklir yang ada di dunia ini mampu dan memiliki daya penghancur jutaan
kali bom yang dijatuhkan di Nagasaki.
Untuk itu maka kekuatan iman harus dimaksimalkan, supaya mampu memberikan arah
yang benar terhadap pendaya gunaan ilmu dan tehnologi.
Masa
depan umat manusia sepenuhnya akan ditentukan oleh kolaborasi iman dan ilmu.
Jika kolaborasi sinergis dapat berjalan dengan baik, maka masa depan yang
menggembirakan akan terwujud. Sebaliknya jika tidak dapat bertemu dan bahkan
ilmu dan tehnologi yang menang, maka masa depan dunia ini akan suram. Para ilmuwan dan agamawan supaya dapat duduk bersama
memecahkan persoalan kemanusiaan dengan pikiran jernih. Para
ilmuwan diharapkan bersikap rendah hati dan dapat menerima pesan-pesan agama.
Begitu pula kaum agamawan harus membuka diri dengan temuan dan tawaran ilmu
pengetahuan.
Tehnologi
memang hanya menawarkan jasa teknik untuk hidup lebih nyaman, tetapi secara
social dampaknya akan sangat besar, karena dapat mengubah pola hidup beragama..
Teknologi telepon misalnya akan mengubah tatakrama silaturrahim, komputer
mengubah cara belajar dan televisi akan mendominasi wacana dalam rumah
tangga. Sehingga tanpa di sadari
tehnologi akan menjelma menjadi ideologi (agama) baru. Dengan begitu kehidupan
ini akan sangat ditentukan oleh ilmu dan tehnologi, tetapi sekaligus akan
dibayangi oleh proses pendangkalan terhadap penghayatan makna hidup, sebab
manusia akan menjadi manja. pragmatis dan kurang peka terhadap dimensi
spiritual.
Sadar akan kekurangan ini maka sekali lagi agama
sudah semestinya tampil mendampingi IPTEK supaya dapat memberikan makna dan
arah jalannya sejarah manusia kearah yang manusiawi, sesuai dengan harkat dan
martabatnya yang fitri, yaitu makhluk yang dicipta secara material dan
spiritual.
ISLAM DAN PEMBEBASAN KAUM TERTINDAS
Ada pernyataan menarik
untuk kita renungkan dari Moeslim Abdurrahman (2005) bahwa “kemungkaran sosial
lebih berbahaya secara kemanusiaan daripada kelalaian ritual normatif”.
Pernyataan ini sejalan dengan ketentuan bahwa pada hakikatnya, agama Islam
diturunkan untuk kepentingan manusia, bukan untuk kepentingan Tuhan. Dalam
rumusan Imam al-Syathibi, agama disebut sesuatu yang ”bersumber dari Tuhan tapi
diperuntukkan bagi manusia” (Ilâhiyatul masdhar wa insâniyyatul maudhû’).
Rumusan ini
menggambarkan bahwa pola keberagamaan yang ideal adalah terjadinya pergulatan
antara hubungan manusia kepada Tuhan dan kepada sesamanya. Ini juga berarti
bahwa pelaksanaan ritual-formal-individual agama harus bersinergi dengan upaya
pembelaan atas nilai-nilai kemanusiaan (hablum minallah dan hablum minannas).
Kini, fenomena
religiusitas masyarakat Indonesia
mengalami peningkatan yang cukup pesat. Gairah religiusitas masyarakat
mengalami eskalasi yang sangat menggembirakan. Namun, tingkat korupsi juga
semakin mengharu-biru. Ini kenyataan yang ironis, karena kenyataan itu terjadi
di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Selama ini ada
asumsi umum (salah kaprah) cukup kuat di
tengah masyarakat bahwa substansi agama terletak pada ritual-formal-individual
setiap pemeluk agama. Amalan-amalan ritualistik ini diyakini sebagai kunci
penting menuju surga. Ia akan membawa pada keselamatan dan kebahagiaan
eskatologis yang abadi. Akibat pola pemahaman agama semacam ini, seseorang yang
makin saleh secara ritual tidak secara otomatis peduli terhadap persoalan
kemanusiaan.
Karena itu,
menumbuhkan semangat pembaruan dan penyegaran pemahaman keagamaan cukup
mendesak untuk dilakukan. Pola keberagamaan seseorang sejatinya baru dapat
dinilai ideal dan utuh (kaffah) apabila dibarengi upaya serius bagi
pemihakan terhadap orang-orang yang tesisihkan (mustad'afin). Dengan
kata lain, tingkat kesalehan ritual-formal-individual haruslah bersinergi
dengan kesalehan sosial dan perhatian terhadap aspek kemanusiaan.
Ajaran Islam Sebagai Kekuatan Pembebas
Di bawah ini akan
dikemukakan konstruksi Agama Islam yang kaffah, agama yang senantiasa menuntut
umatnya tidak hanya shalih secara ritual , tapi juga harus shalih secara social
secara sinergis, terutama dalam membebaskan kaum tertindas (mustadh’afin).
Pertama, dari sisi historis
awal mula kelahiran agama Islam, adalah untuk merespons penderitaan dan
kesengsaraan yang mencekam kehidupan umat manusia akibat penindasan dan
eksploitasi yang dilakukan komunitas sosial maupun individul yang dominan. Agama
Islam lahir sebagai bentuk keprihatinan atas realitas sosial yang timpang.
Untuk itu, kehadirannya merupakan upaya kritik dan pembelaan atas upaya-upaya
dehumanisasi, penistaan terhadap harkat dan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam catatan
sejarah, sejumlah pendiri agama (Nabi) justru datang dari komunitas sosial yang
mengalami penindasan dan eksploitasi cukup lama. Nabi Musa tampil karena
prihatin atas penderitaan Bani Israil yang dalam rentang waktu cukup lama
ditindas Fir’aun. Isa al-Masih , putra Maryam juga datang kerena prihatin atas
penderitaan rakyat banyak pada zamannya.
Nabi Muhammad juga
mempunyai peranan dan misi yang sama. Pada awal masa kelahirannya, Islam
melontarkan kritik cukup mendasar pada sistem sosial-ekonomi dan budaya Quraisy
Mekkah. Sistem sosial-ekonomi yang menindas dan diskriminatif serta ketiadaan
tanggung jawab sosial (sense of social responsibility) itu cukup
mengakar dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Melihat kondisi
sosial yang amat timpang ini, Nabi Muhammad saw mengambil peran sebagai
pemimpin kaum tertindas dan lebih memilih gaya hidup mereka (bersahaja dan
kesederhanaan). Kemudian beliau melakukan upaya pembelaan terhadap mereka.
Itulah uraian ringkas yang cukup mudah kita temukan dalam beberapa literatur
sejarah agama Islam dan pendirinya.
Kedua, dari sisi
doktrinal-normatif agama, teks-teks suci agama yang bersifat normatif sangat
perlu dipahami secara utuh, sehingga nilai-nilai substansial agama dapat
ditangkap secara keseluruhan. Dalam banyak ayat Alqur'an, misalnya, kita dapat
menemukan penjelasan bahwa agama megidealkan antara dua kepentingan, kepada
Tuhan dan manusia. Bahkan problem kemanusiaan terkadang lebih penting untuk
dikedepankan.
Surat-surat awal
Alqur’an seperti al-Ma’un, al-Kautsar, al-Humazah, al-Fajr, al-Lail dan
al-Balad, menunjukkan indikasi ke arah itu. Surat-surat tersebut sangat
mengecam praktik akumulasii kekayaan yang diperoleh melalui cara eksploitasi
sosial ekonomi dalam bentuk ketidakpedulian atas penderitaan orang-orang
tertindas dan lemah (anak yatim, miskin, dll.).
Dalam surat al-Ma'un
juga ditegaskan bahwa para pendusta agama adalah mereka-mereka yang hanya
menikmati sembahyang (juga ritual-ritual formal lainnya), tapi lupa akan nasib
orang-orang yang tereliminasi dan menderita secara sosial-ekonomi. Bahkan, dari
sekian banyak ayat Alquran, jumlah ayat-ayat yang berkaitan dengan kehidupan
sosial jauh lebih banyak ketimbang ayat-ayat ibadah ritual-formal-individual.
Bahkan, perbandingannya hampir satu berbanding seratus.
Hal ini cukup menjadi
bukti bahwa agama Islam, sejatinya untuk menjaga nilai dan memenuhi kepentingan
kemanusiaan. Dalam kaidah usul fikih pun disebutkan bahwa “amal perbuatan yang
dapat dirasakan mamfaatnya oleh orang banyak lebih utama daripada amalan yang
manfaatnya hanya dirasakan diri sendiri” (al-muta’addî afdlal minal qâshir).
Itulah penjelasan cukup valid yang mudah ditemukan, ketika kita membaca
beberapa literatur sejarah agama Islam dan sumber doktrinal-normatif nya secara
utuh.
Dalam surat al-A’raf: 157
dinyatakan dengan tegas bahwa misi Nabi Muhammad yang menjadi cirikhas umat
Muhammad adalah untuk membebaskan belenggu yang melilit umat manusia.
الذين يتبعون الرسول
النبي الأمي الذي يجدونه مكتوبا عندهم في التوراة والإنجيل يأمرهم بالمعروف
وينهاهم عن المنكر ويحل لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبائث ويضع عنهم إصرهم
والأغلال التي كانت عليهم فالذين ءامنوا به وعزروه ونصروه واتبعوا النور الذي أنزل
معه أولئك هم المفلحون(157)
“Yaitu
orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati
tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh
mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang
mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala
yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari
mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka
orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti
cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah
orang-orang yang beruntung.
Atas dasar inilah ,
maka Dr. Ali Syari'ati mendefinisikan ”manusia tercerahkan” adalah ”mereka-mereka yang tak hanya memiliki
tanggung jawab ibadah-ritual kepada Allah, tapi sekaligus orang yang punya
tanggung jawab sosial kemanusiaan pada sesama saudara manusianya”. Tanpa adanya
komitmen sosial (ibadah sosial) seseorang belum dapat dikatakan sebagai manusia
yang tercerahkan dan pola keberagamaannya tidak dapat dianggap utuh.
HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA
Berbicara tentang hubungan Islam dan
Negara merupakan hal yang sangat menarik. Selama ini paling tidak ada dua
pandangan di kalangan umat Islam; apakah negara kaum muslimin itu harus berupa
negara agama(dalam arti kekuasaan negara dikendalikan oleh kaum agamawan dan
norma-agama, misalnya negara harus berbentuk Khilafah) atau boleh negara
sekuler (dalam arti institusi kenegaraan yang digunakan dan norma yang
mengendalikan dirumuskan berdasar kesepakatan warga negara, misalnya dalam
bentuk negara nasional).
Telah disepakati bahwa hubungan
antara agama dan negara, keduanya saling membutuhkan guna saling memperkokoh
cita-cita dan eksistensi masing-masing. Sebab dalam negara harus ada values
(nilai-nilai) yang biasanya ada dalam ajaran agama. Oleh karena itu
sesungguhnya negara memerlukan dukungan dan kontrol dari agama. Demikian pula
sebaliknya, karena agama juga membutuhkan struktur dan fasilitas politik untuk
menyebarkan nilai dan misi agama , maka agamapun membutuhkan negara.
Persoalan yang dihadapi, bahwa
sekarang ini tidak ada negara yang tumbuh di luar wilayah nasionalitas (yang dihuni
oleh pemeluk agama yang plural), dan karena pemeluk agama adalah juga sebagai
warga negara, maka tuntutan agama dan negara bertemu dalam sebuah pribadi. Oleh
karena itu secara politis harus dicarikan titik temu dan rambu-rambu, supaya
kehidupan negara dan warganya berjalan secara damai. Namun dalam perjalanan
sejarahnya sering kali terjadi benturan antara agama dan negara. Hal ini
terjadi karena berbagai factor. Antara lain adalah, karena artikulasi agama
sering kali ditentukan oleh kepentingan individu dan kelompok, sehingga bisa
terjadi benturan dengan kepentingan individu dan kelompok yang sedang
bertengger dipuncak kekuasaan negara. Di sinilah dapat dipahami mengapa
perebutan kekuasaan antara berbagai kepentingan terjadi, termasuk antar pemeluk
agama sering dijumpai.
Islam
Dan Institusi Negara
Jika kita meperbincangkan geneologi civil society, antara
tradisi yang berkembang di Barat dan Islam memiliki perbedaan yang cukup
signifikan. Yesus (Nabi Isa as) lahir dan berjuang tetapi kalah dihadapan kekuasaan
politik. Sementara itu Nabi Muhammad saw lahir di padang pasir, kemudian berjuang dan menang,
bahkan menegakkan kekuasaan politik dan mewariskannya kepada generasi
sesudahnya. Di sinilah jelas perbedaannya. Oleh karena itu, di Barat pemisahan
agama dan negara di dasarkan pada sejarah dan ajaran yang berbeda dari
pengalaman Islam. Negara begitu mandiri
dan independen, serta didukung oleh rasionalitas sekuler. Sedangkan dalam
pengalaman sejarah Islam intervensi ulama dan agama sangat kuat. Jika di Barat
secara empiris-historis mereka sepakat membangun negara sipil berdasar
humanisme rasional, maka dalam Islam hingga sekarang ini masih sedang mencari
format yang pas dalam konteks negara modern. Boleh saja kita berpendapat bahwa
negara Madinah adalah egaliter, adil dan demokratis, namun perlu dicatat bahwa
factor Nabi Muhammad saw sebagai figur sentral yang sangat kuat, yang menjamin
persamaan. Setelah Nabi saw wafat , maka persamaan itu lenyap dan digantikan
oleh faham dinastiisme.
Lalu bagaimana sebenarnya konsep
Islam.Tidakkan konsep khilafah yang pernah berjaya pada masa sahabat dan
dinasti sesudahnya itu merupakan contoh ideal yang harus diadopsi dan
diperjiangkan?. Dalam hal ini sampai kini masih diperdebatkan.
Jik kita melihat pada doktrin keagamaan
otentik berupa nash, maka pandangan tentang khilafah sebagai institusi
kenegaraan yang mengikat, agaknya cukup sulit. Berbagai data histories
menunjukkan bahwa khilafah sebenarnya tidak termasuk bagian dari doktrin
keagamaan, tetapi masuk pada wilayah instutusi social. Dan sebagai institusi
social, maka konsep khilafah selalu berubah secara dinamis, mengikuti dinamika
social di sekitarnya. Khilafah yang terbentuk sebara demokratis (dengan segala
variannya) di masa khulafaurrasyidin, pada ahirnya berubah menjadi
autokratik-monarkhis. Dan sebutan kholifah juga mengalami perkembangan, seperti
Amirul Mukminin, Sulthan, Amirul Umara’, Imam, Syarif, Khan dll.
Kelemahan konsep khilafah untuk
dijadikan sebagai rujukan tunggal sebagai institusi kenagaraan kaum muslimin,
di samping tidak adanya landasan tekstual yang kongklusif, juga tidak
ditemukannya struktur organisasi yang baku dan landasan filosofis yang dapat
dijadikan sebagai acuan secara universal, sekalupun sejak zaman nabi Muhammad ,
masyarakat muslim telah terhimpun dalam sebuah organisasi politik bernama
negara. Sebagai negara yang berdaulat, khilafah tentu saja telah memiliki
struktur, walaupun sederhana, tetapi itu bukan berdasar landasan normative,
tetapi bergerak atas kebutuhan histories, berdasar ijtihad para ulama sesuai
zaman dan tantangan yang dihadapi. Landasan tekstual yang ada hanya memberikan
konsep dasar yang tidak bersifat kelembagaan, tepi lebih bersifat moral dan
spiritual. Misalnya perintah musyawwarah, berbuat adil, persamaan hak didepan
hokum.
Bukti klasik tentang tidak adanya
rujukan tekstual yang kongklusif tersebut adalah bahwa setelah Rasulullah
wafat, para sahabat tidak memperoleh acuan normative dari Nabi/Rasulullah untuk
menentukan figure penggantinya sebagai penyelenggara tugas-tugas ekskutif
pemerintahan Madinah. Nabi tidak menentukan siapa penggantinya kelak setelah
beliau wafat. Keriteria yang diperlukan untuk mengangkat pengganti beliau
justru diperoleh dari gagasan para sahabat, yang kemudian mereka tuangkan dalam
prosedur pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Prosedur pemilihan yang dikenal
dengan bay’at tsaqifah ini
ditetapkan oleh muslim sunni sebagai landasan ideal untuk menyelenggarakan
suksesi kepemimpinan dalam Islam.
Terhadap prosedur pemilihan Abu Bakar ini, para ahli menilainya sebagai asas
konsep demokrasi dalam Islam. Argumentasi yang dijadikan pertimbangan ialah
adanya tiga komponen penting yang dilaluinya, yaitu pencalonan (nomination),
kompromi antar kelompok (mutual consultation) dan bay’at (kontrak antara publik
dan pemimpin terpilih).
Dari penjelasan ini, dapat
disimpulkan bahwa suksesi kepemimpinan versi sunni (ahlu sunnah), dari sudut
kelembagaannya masuk katagori institusi social. Pengkatagorian ini berangkat
dari legitimasi yang diperolehnya berdasar consensus publik serta dibuat atas
dasar akad kontrak antara pemimpin terpilih dengan rakyat. Maka sebagai
institusi social , khilafah memiliki ruang gerak yang dinamis, mengikuti
dinamika social yang berlangsung. Oleh karena itu, nama dan struktur kenegaraan
Islam dapat berubah sesuai dengan perkembangan. Itulah sebabnya, maka sejarah
ke=khalifahan dalam Islam berkembang sesuai dengan konteks kemaslahatan yang
dihadapi. Dengan demikian, maka institusi kenegaraan yang berbentuk republik
atau monarkhi sebagaimana Arab Saudi dan sebagainya, selama menghadirkan
kemaslahatan, maka Islam tidak mengingkarinya.
Dalam konteks ini yang penting digaris bawahi
adalah tegaknya keadilan, kemaslahatan dan kedamaian warganya. Oleh karena itu
peran agama menjadi sangat penting untuk dijadikan sebagai acuan moral dan
spiritual. Kaidah Fiqih menyatakan :”Tasharruful Imam manutun bilmaslahat”
(Aktivitas dan kebijakan kepala negara dalam penyelenggaraan pemerintahan harus
sesuai dengan tuntutan kemaslahatan warga negara). Nabi juga menyatakan :
“tidak ada ketaatan kepada seseorang yang melakukan penyimpangan agama”.
Sebagai acuan moral dan spiritual, maka agama
(Islam) akan memberikann arah bagi negara supaya tetap berjalan dan dapat
dipertangung jawabkan sesuai dengan cita kemanusiaan dan ketuhanan. Dari sudut
pandang Islam, Negara adalah instrumen , alat yang penting untuk
menyosialisasikan cita-cita moral Islam. Dan sebagai alat, maka negara tidak
harus bernama Islam. Karena itu untuk kasus Indonesia, negara Pancasila dapat
dijadikan sebagai instrumen guna melaksanakan cita moral Islam berupa
kebebasan, keadilan, kemakmuran, persamaan, persaudaraan dan sebagainya.
Persoalan yang muncul kemudian adalah maukah
Pancasila menerima landasan moral Islam (Nilai-nilai kenabian). Meminjam teori
A.J. Taynbee, bila kita berbicara tentang nilai kenabian, maka semua agama
samawi banyak memiliki persamaan. Dengan demikian usaha bersama untuk menggali
dan merumuskan nilai-nilai itu antar berbagai pemeluk agama sangat mungkin
dilakukan, asal iklim yang baik dan segar dapat diciptakan. Kesemuanya ini
tergantung kemauan politik yang bertangungjawab dan tulus serta sifat
kenegarawanan yang dewasa.
Ketika negara melakukan penyimpangan moral,
maka agama (Islam) dan ulamaknya harus melakukan koreksi dan kritik membangun.
Ketika masyarakat menglami tingkat ekonomi yang surplus, agama akan menawarkan
keseimbangan yang bersifat etik dan spiritual. Menghadapi masyarakat yang
tingkat pendidikannya rendah dan terbelakang, agama akan dating memberikan
seruan untuk meningkatkan etos belajar. Ketika terjadi ketimpangan ekonomi,
agama akan berjihad untuk menyerukan pemberantasan kemiskinan, dan ketika
korupsi tak terbendung, maka agama akan berjihad menyerukan pemberantasan
korupsi.
Modus kehadiran agama seperti ini biasanya
bersifat langgeng, menyertai kehidupan manusia yang fluktuatif. Di sini agama
selalu hadir memberikan jawaban yang pasti, berupa kesejukan, ketentraman dan
kepasrahan. Dari penjelasan ini dapat dipahami mengapa jarang sekali didapati
negara yang dapat melepaskan diri dari pengaruh agama sama sekali.
Negara-negara barat, termasuk Amerika, tidak pernah sepi dari pengaruh kaum
agamawan, seperti Paus di Vatikan.
DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA
Yang dimaksud judul ini
adalah hubungan timbal balik yang saling membutuhkan dan mempengaruhi. Islam
merupakan ajaran keselamatan yang bersifat spiritual. Oleh sebab itu ia harus
diformulasikan oleh bahasa budaya yang penuh bijak, lembut dan beradab.
Kaum
positivisme menganggap agama sebagai puncak ekspresi kebudayaan. Akan tetapi
sebaliknya menurut kaum teolog dan agamawan, kebudayaan merupakan perpanjangan
dari prilaku beragama. Agama bagaikan ruh yang datang dari langit, sedangkan
budaya adalah jasad bumi yang siap menerima ruh agama, sehingga pertemuan
keduanya melahirkan peradaban. Ruh tak bisa beraktifitas dalam pelataran
sejarah tanpa jasad. Sebaliknya jasad akan mati dan tak sanggup menggapai makna
dan nilai-nilai tanpa agama.
Untuk
memahami kehidupan beragama, bisa dipahami melalui dua dimensi; personal
dan cultural. Melalui dimensi personal, agama memberikan acuan
hidup seseorang dan untuk memberikan makna
bagi setiap tindakan yang dilakukan. Jika sain dan teknologi menawarkan
jasa tehnik menyelenggarakan hidup, maka agama akan memberikan arah dan makna
serta tujuan hidup. Sedang dimensi cultural, memahami hehadiran agama
akan bergerak dan tumbuh melalui wadah kultur, sehingga akan muncul kultur yang
bercirikan agama, atau simbul-simbul cultural yang digunakan untuk
mengekpresikan nilai agama. Oleh karena itu mengingat masyarakat tumbuh dalam
sebuah kultur yang beragam, maka ekspresi
sebuah agama secara kultural dan simbolik bisa juga beragam, sekalipun
pesan yang dibawa sama.
Selanjutnya
mengingat kualitas individu dan budaya di mana sebuah agama tumbuh bukanlah
seperti kaset kosong , maka antara agama dan budaya pada ahirnya tidak mungkin
dipisahkan , Keyakinan agama seseorang akan merasuki kehidupan dan tindakannya. Menyadarai hal ini
maka sangat logis bahwa ekspresi dan artikulasi keagamaan tidak pernah berwajah
tunggal. Dalam konteks Islam. Sekalipun terdapat ajaran baku yang diyakini bersama, namun pada level
pemahaman, penafsiran , tradisi ban keyakinan, akan dijumpai keragaman. Bahkan
sebagian keragaman ini telah melembaga sebagai madzhab (school of thought)
PERSPEKTIF
ISLAM TENTANG PENYEMPURNAAN KEPRIBADIAN MANUSIA
Di kalangan Sufi, dikenal suatu riwayat sebagai semboyan
“siapa yang dapat mengenali diriya maka ia akan mengenal Tuhannya”.Dari
ungkapan ini, maka mengenali diri sendiri merupakan tangga yang harus dilewati
seseorang untuk mendaki ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka mengenal
(memahami) Tuhan. Namun persoalan serius yang dihadapi manusia (sebagaimana
diakui para psikolog, failosof dan para ahli lainnya), pada umumnya mereka
mengalami kesulitan, bahkan gagal dalam mengenali jati diri dan hakikat
kemanusiaannya.
Siapa
sesungguhnya hakikat manusia, apakah ia mahluk material/jasmani, ataukah ia
sesungguhnya mahluk sepiritual. Dalam
al-Qur’an ia terkadang disebut dengan “ basyar” dan kadang disebut dengan
“insan”. Kata “basyar” memiliki makna tampak dan indah. Dari sini manusia
berbeda dengan jin yang tak tampak. Kata “basyar” biasanya digunakan untuk
menyebut proses kejadian dan perkembangan
manusia mulai awal hingga mencapai dewasa. Sedangkan kata “insan”
terambil dari akar kata “uns” yang artinya jinak dan harmonis. Kata “insan” ini
digunakan untuk menunjuk totalitas manusia yang meliputi jiwa, raga , pisik dan
psikis dengan segala keunikannya.
Dalam
al-Qur’an dinyatakan secara tegas bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan Allah
yang terbaik di banding makhluk lainnya(al-Alaq: 4). Ia memiluki potensi yang
demikian prima. Namun begitu Allah segera memperingatkan bahwa kualitas
kemanusiaannya (secara actual), masih belum selesai (setengah jadi), sehingga
masih harus berjuang untuk menyempurnakan dirinya.(al-Syams: 7-10). Proses
penyempurnaan ini sangat mungkin untuk dilakukan, sebab pada naturnya manusia
itu fitri , hanif dan
berakal.Bahkan disamping sebagai hamba Allah, manusia ditugasi memikul amanat
sebagai khalifah (pemimpin untuk memakmurkan bumi)di muka bumi ini.
Kemudian
bagaimana proses penyempurnaan itu harus dilakukan. Banyak para ulama
menyampaikan pendangan dan pengalamannya. Di antaranya Ibnu Arabi. Ia
menggambarkan bahwa di dalam diri manusia terdapat tiga komponen yang amat
menentukan kualitas kemanusiaannya; yaitu ruh, jasad dan nafsu. Ruh diciptakan
Allah dari spiritNya, karena itu dia cenderung pada hal-hal yang suci dan baik.
Sedang jasad manusia diciptakan dari tanah, karena itu memiliki kecenderungan
yang rendah dan kotor. Adapun nafsu diciptakan sebagai barzah(terminal) yang
ada di antara ruh dan jasad. Nafsu merupakan motor yang mendorong seseorang
untuk berbuat sesuatu. Jika nafsu dapat didekatkan kepada ruh, maka ia akan
cenderung kepada hal-hal yang suci dan baik. Dan pada gilirannya manusia akan
memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dan suci. Sebaliknya jika nafsu
manusia dekat dengan jasad, maka ia akan memiliki kecenderungan kepada hal-hal
yang buruk dan rendah. Maka pada gilirannya manusia akan gemar melakukan
perbuatan tercela dan rendah. Atas dasar
ini, maka proses penyempurnaan dirinya, manusia harus senantiasa berjuang
mendekatkan nafsunya kepada hal-hal yang bersifat spiritual dan suci, supaya
nafsunya menjadi nafsu mutma’innah.yaitu nafsu yang damai dan mendapat
ridlo Allah.
Mengapa
nafsunya yang dikendalikan, sebab masalah
utama yang dihadapi manusia supaya hidupnya damai, adalah memelihara da
meningkatkan kesucian jiwanya. Dengan jiwa yang bersih, maka ia akan senantiasa
berpikir pisitif dalam menghadapi berbagai romantika dan problema kehidupan
ini.
Salah
satu tahapan untuk meningkatkan kesucian jiwa yaitu melalui tiga maqam tahapan;
ta’alluq, takhalluq dan tahaqquq. Pertama, proses ta’alluq ini bisa
dilakukan melaui dzikir, yaitu berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran
hati dan pikiran kita kepada Allah. Di manapun kita berada jangan sampai lepas
dan melupakan Allah sebagai Tuhan dan Pemelihara alam semesta ini.Perbuatan
ibadah mahdlah (murni) seperti shalat misalnya merupakan sarana dzikir yang
paling ampuh (Aqimisshalata li zdikri). Kedua, takhalluq; yaitu secara sadar
berusaha meniru sifat-sifat Allah yang Maha Mulya, sehingga setiap mukmin
memiliki sifat dan prilaku yang terpuji. Proses ini disebut juga sebagai proses
internalisasi sifat-sifat Tuhan ke dalam diri manusia. Maqam Ketiga tahaqquq,
yaitu suatu kemampuan untuk mengaktualkan kesadaran dan kapasitas diri sebagai
mukmin yang (dalam dirinya) telah didominasi oleh kesucian dari sifat-sifat
Tuhan, sehingga prilaku dan sikapnya secara otomatis mencerminkan kecian dan
kemulyaan sifat-sifat tersebut (berakhlaqul karimah).
Inilah
salah satu kesimpulan dari proses yang ditawarkan Allah jika seseorang ingin
mendapatkan kebahagiaan hidup, yaitu mensucikan jiwa, sebagaimana diisyaratkan
dalam surat
al-Syams 7-10 :
ونفس
وما سواها(7)فألهمها فجورها وتقواها(8)قد أفلح من زكاها(9)
وقد
خاب من دساها(10)
ISLAM
DAN EMANSIPASI KEMANUSIAAN
Kata
“emansipasi” berasal dari bahasa Inggris yang artinya pembebasan, yakni
pembebasan dari berbagai belenggu yang mengganggu eksistensi dan martabatnya
sebagai manusia. Tema yang akan dibicarakan ini dalam rangka menjawab sebuah
pertanyaan; Apakah Islam (ajaran-ajarannya) sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan?.
Sebagaimana
dijelaskan dalam surat
al-Alaq, bahwa manusia merupakan puncak ciptaan Allah dan makhlukNya yang
tertinggi. Hal ini mengambarkan betapa tingginya harkat dan martabat
kamanusiaan. Tetapi dalam surat tersebut juga ditegaskan bahwa derajat dan
martabat manusia bisa terprosok dan jatuh pada kaadaan yang paling rendah,
bahkan dalam surat al-A’raf 179 dinyatakan bahwa kejatuhan mereka itu bisa
lebih rendah di bawah derajat binatang. Untuk menjaga dan membebaskan dirinya
dari kejatuhan itu diserukan supaya manusia mempercayai Allah (iman) dan
berbuat kebajikan (amal shalih).
Dari
penjelasan kitab suci al-Qur’an di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut asal
kejadiannya(potensi), manusia itu merupakan makhluk mulya, tetapi kerena
berbagai hal yang muncul, dan disebabkan oleh kelalaian dan kecerobohannya
sendiri (secara actual), manusia sering kali keluar (bahkan menyimpang) dari
fitrahnya, sehingga terjatuh ke dalam lembah kehinaan. Manusia akan
terlesamatkan jika ia memiliki komitmen terhadap nilai-nilai ilahiyah dan
berbuat baik kepada sesamanya. Dari perspektif ini maka dapat dipahami bahwa
kehadiran para Rasul di tengah-tengah kehidupan manusia adalah untuk memimpin
manusia melawan kejatuhannya sendiri. Atau dalam bahasa lain para Rasul itu
memimpin manusia untuk membebaskan harkat dan martabatnya dari kejatuhan dan
kehinaan.
Syirik dan Kufur : Problem Utama Kemanusiaan
Di antara sekian
persoalan yang dihadapi umat manusia adalah meraja lelanya kezaliman , sehingga
kadilan nampak sebagai fatamorgana dan ilusi. Eksploitasi, pemerasan, dan
penindasan manusia atas manusia lain merupakan realitas actual yang menghiasi wajah kehidupan setiap bangsa di
muka bumi ini (baik secara pilitis, ekonomi maupun budaya). Mengapa manusia
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Salah
satu sebab paling utama yang memicu munculnya prilaku tersebut adalah sikap
Syirik (politeisme) dan kufur (menentang dan ingkar kepada Allah)
Syirik pada hakikatnya adalah pengangkatan
sesuatu selain Tuhan (Allah) secara batil sedemikian rupa sehingga memiliki
nilai lebih tinggi dari manusia sendiri. Dengan kata lain, orang yang melakukan
syirik secara apriori menempatkan diri, harkat serta martabatnya lebih rendah
dari obyek yang di syirikkan (pada hal manusia adalah mahluk termulya). Dalam
kaadaan selanjutnya orang yang bersangkutan dapat terjerumus ke dalam pola dan
sikap hidup atas belas kasih sesuatu yang dimitoskan tersebut. Ini artinya
manusia telah kehilangan harkat dan martabatnya yang tinggi, ia tidak lagi
wujud sebagai manusia yang merdeka, sebab dirinya telah menjadi hamba dari
obyek yang diagungkannya.
Obyek
yang disyirikkan bisa berupa sesuatu atau gejala alam, sesama manusia atau
bahkan dirinya sendiri. Seorang musyrik akan terbelenggu oleh sesuatu yang
dimitoskan, karena itu maka ia cenderung menolak kebenaran. Jika yang
dimitoskan adalah dirinya sendiri (karena didorong oleh hawa nafsunya), maka
manusia akan cenderung besikap angkuh dan sombong serta memutlakkan pandangan
dan fikirannya. Orang yang demikian akan mudah terseret kepada sikap-sikap
tertutup dan fanatik, yang akan bereaksi secara negatif terhadap sesuatu
kebenaran yang ating dari luar. Inilah salah satu bentuk kungkungan atau
perbudakan oleh tirani egoisme. Gambaran mengenai kenyataan ini disebut dalam
al-Qur’an surat
al-Jatsiyah 23:
أفرأيت من اتخذ إلهه
هواه وأضله الله على علم وختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة فمن يهديه من
بعد الله أفلا تذكرون(23)
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat
berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan
meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya
petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran?”
Selanjutnya jika yang
dimitoskan berupa alam/gejala alam, maka belenggu itu akan berwujud tertutupnya
kemampuan manusia untuk melihat hokum-hukum alam secara obyektif. Dengan kata
lain syirik menutup pintu ilmu pengetahuan, karena pendekatan yang digunakan
selalu melalui mitologi(mitos) yang lebih banyak bersandar pada hayalan.
Sedangkan mitologi terhadap sesama manusia akan menghasilkan tirani dan kultus.
Hal ini akan menghasilkan efek pembelengguan yang sangat kuat berupa perampasan
hak dan kemerdekaan harkat kemanusiaan, baik dalam bidang politik, ekonimi dan
lain sebagainya. Maka disebabkan sifat pembelengguan yang menghancurkan harkat
dan martabat manusia inilah, perbuatan syirik dinyatakan sebagai dosa besar
yang tidak terampuni. Di anatara tokoh yang dicontohkan sebagai tiran (thoghut)
adalah Fir’un. Ia memerintah sebagai penguasa yang obsolut dan sewenang-wenang,
bahkan mengaku sebagai tuhan.
Islam dan Emansipasi Kemanusiaan
Islam adalah agama kedamaian, keselamatan, dan kesejahtraan. Karena itu
ajarannya selalu ditujukan kepada terwujudnya pribadi dan masyarakat yang adil
dan sejahtra, lahir maupun batin. Ada
tiga kata kunci yang sangat penting dalam Islam, yaitu Iman, Islam dan taqwa.
Tiga istilah tersebut memiliki makna mirip dan saling menyempurnakan. Kata
Islam berasal dari “salima, silm dan aslama”. Artinya selamat, sejahtra
dan berserah diri. Dari makna ini dapat disimpulkan bahwa sipa yang berserah
diri kepada Allah, maka akan semat dan sejahtra. Sedangkan kata iman baerasal
dari ungkapan “amana, amanat dan amn”, artinya mempercayai, dapat
dipercaya dan aman. Dari istilah ini maka disimpulkan bahwa siapa yang
membercayai Allah akan menjadi orang yang dapat memegang amanat dan
terlindungi/aman. Adapun istilah taqwa berasal dari kata “waqa, dan wiqayah”,
artinya takut, menjaga diri dan terlindungi. Dari sisni kemudian disimpulkan
bahwa siapa yang takut kepada Allah dengan menjaga ajaranNya, maka akan
terlindung/selamat dari api neraka.
Telah diketahui bersama bahwa titik tekan
seruan dan dakwah Islam adalah bagaimana supaya manusia beriman kepada Allah,
Tuhan Yang Maha Esa secara benar. Oleh karena itulah maka seruan al-qur’an
tentang keimanan banyak ditujukan kepada kaum musyrik. Yaitu keimanan yang
mengajarkan bagaimana mengubah manusia dari paham tuhan palsu kepada aqidah
tauhid. Demi harkat dan martabatnya sendiri, manusia harus menghambakan diri
hanya kepada Allah Yang Esa. Dalam gambaran grafisnya, manusia harus melihat ke
atas hanya kepada Allah Yang Maha Tinggi, dan kepada alam harus melihat ke
bawah. Sedangkan kepada sesama manusia harus melihat secara mendatar
(horizontal). Hanya dengan sikap seperti itu manusia akan menumukan hakikat
dirinya, makhluk ciptaan Allah yang dimulyakannya.
Aqidah
tauhid, mengantarkan manusia untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan
dan orientasi hidupnya. Ungkapan bahwa hidup ini karena dan demi ridla Allah,
menggambarkan orientasi tersebut. Dalam Istilah agama orang yang bersikap
demikian itu dinyatakan mengikuti “jalan lirus” (sirat al-mustaqim), jaitu
jalan yang membentang searah dengan kehendak Allah. Dalam realitas keseharian,
manusia harus senantiasa berjuang untuk hidup sejalan dengan bisikan hati
nurani yang selalu menghendaki kebaikan dan kesucian. Dus ia akan bertindak
manusiawi, karena hati nurani merupakan inti kemanusiaan.
Salah
satu konsekuensi logis paham Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid) yang sangat kuat
ialah adanya dampak pembebasan social, yaitu munculnya semangat egalitarianisme
(paham persamaan derajat). Maka atas dasar inilah, ajaran tauhid menghendaki
system kemasyarakatan yang demokratis berdasarkan musyawarah, yang terbuka, di
mana masing-masing anggota masyarakat saling mendengar dan menghargai,
memperingatkan tentang apa yang baik dan benar, tentang ketabahan menghadapi
problema kehidupan. Dari sini dapat dipahami mengapa Islam menentang
absolutisme antar sesama manusia. Kebebasan berdasar kan Tauhid menghendaki adanya kemampuan
menghargai pendapat orang lain, karena mungkin pendapat yang lain lebih baik
dari pada pendapatnya sendiri.
Dengan
semangat paham tauhid, tidak dibenarkan adanya klaim seseorang yang memegang
kebenaran mutlaq, dan sebaliknya pahan ini mengharuskan seseorang berani
memikul tanggungjawabnya sendiri, tanpa perantara orang lain. Kebebasan dan
tanggung jawab merupakan dua sisi mata uang yang tak terpisah; tidak ada
kebebasan tanpa tanggung jawab, sebaliknya tidak ada tangung jawab , jika
seseorang tidak bebas. Inilah salah satu dari makna kalimat Suyahadat:
Pembebasan dari semua belenggu kepercayaan yang batal, disusul kepercayaan dan
tanggung jawab kepada Allah, Tuhan yang benar (hak).
0 comments:
Post a Comment